Di Ufuk Rinjani
Cerpen
Oleh : YanDari : Majalah HAI 2/XXXII/2008
diedit oleh blogger
"Petualang yang tewas di gunung bukanlah orang yang mencintai kematian. Yang pasti, dia tewas dalam usahanya menghargai hidup ini" (Norman Edwin, petualang legendaris yang wafat di gunung Aconcagua, Argentina)
Angin berhembus begitu kencang dan dingin. Suara derit Casuarina junghuhniana, pohon cemara gunung, mengalun berirama di kejauhan, di antara dentingan logam teko penuh jelaga yang tergantung di atas perapian kecil. Tenda seakan tertarik kencang untuk meninggalkan tempatnya, oleh angin yang masuk ke dalam. Suara kepakan kain tenda terdengar keras, namun sebentar kemudian melemah. Beberapa monyet ekor panjang mengintip di antara bebatuan yang curam, berusaha mendekati tenda. Kemudian berlari-lari menjauh dengan decitan ramai, ketika penghuni tenda mengusirnya.
Pemandangan di punggung gunung Pelawangan Sembalun Lawang, Kamp untuk para pendaki gunung, sudah mulai hidup. Beberapa penghuni tenda sudah bersiap-siap melanjutkan perjalanan menuju puncak Rinjani, atau menuruni lereng cadas menuju danau vulkanik raksasa Segara Anak.
Pukul dua dini hari. Guruh dan Ari sudah duduk bangun di masing-masing sleeping bag-nya. Rambut kusut mereka tertiup angin kesana kemari da sesekali menguap untuk menyegarkan diri dari rasa kantuk yang masih tersisa. Untunglah cuaca begitu cerah, kabut dingin yang sering menyerang tiba-tiba sepertinya tidak akan datang jika mendengar dari radio informasi. Artinya, summit attack alias pendakian gunung bisa dilakukan dengan aman.
Tiga orang highlander (*sebutan untuk para pendaki gunung) sudah beranjak pergi menuju puncak. Seorang porter mengiringi mereka sambil membawa perlengkapan-perlengkapan yang terbilang berat. Mereka menyapa ramah ke setiap tenda yang dilaluinya, seakan sudah mengenal dekat dengan penghuninya.
"Guruh : Ari... Kita jalan duluan! sampe ketemu di puncak ya?"
"Oke baaang..." jawab Ari dengan suara kerasnya.
Guruh hanya melirik dan tersenyum dalam diamnya. Dia lalu melanjutkan kembali melipat sleeping bag-nya. Kedua tas ransel remaja beranjak dewasa itu menggembung besar, terisi perlengkapan perjalanan terakhir mereka ke puncak Rinjani.
"Ar... Lo udah siap?"
"Belum. Kamera gue mana ya, 'Ruh? jangan-jangan diambil monyet-monyet itu waktu gue tidur!"
"Ini ada di gue. Lo nyimpennya sembarangan sih."
Yap. Monyet-monyet ekor panjang memang suka mengganggu tenda para pendaki. Mereka sangat pandai membuka tenda untuk mengambil makanan atau barang-barang yang menurut mereka menarik. Selain itu, monyet-monyet juga sangat berani dan cukup garang.
Dengan Ransel mencuat di punggung masing-masing, Guruh dan Ari memulai perjalanan mereka. Medan menuju puncak cukup berat dan berbahaya, padang pasir, kawah, dan jurang yang menganga seolah tanpa dasar, memaksa adrenalin berpacu. Dua ratus meter ketinggian terakhir harus ditempuh dengan susah payah. Keringat membasahi wajah kedua pendaki ini, meski angin dingin terus menerpa mereka.
Ari terlihat kewalahan saat melewati padang pasir bertabur batu kerikil. Begitu pun Guruh, walau tidak seterperosok Ari, tapi bisa dibilang setiap satu langkah kakinya maju maka setengah langkah akan turun lagi karena terperosok di antara batu kerikil.
Kurang lebih tiga jam perjalanan, Guruh dan Ari akhirnya tiba di puncak. Segala kelelahan dan kepenatan yang dirasakan sebelumnya sirna terbawa hembusan angin kencang yang menerpa diri. Dari ketinggian 12.420 kaki atau 3.726 meter di atas permukaan laut, di puncak Gunung Rinjani itu, mereka menghirup udara hangat bermandikan sinar matahari yang baru saja terbit.
Ari terlihat kewalahan saat melewati padang pasir bertabur batu kerikil. Begitu pun Guruh, walau tidak seterperosok Ari, tapi bisa dibilang setiap satu langkah kakinya maju maka setengah langkah akan turun lagi karena terperosok di antara batu kerikil.
Kurang lebih tiga jam perjalanan, Guruh dan Ari akhirnya tiba di puncak. Segala kelelahan dan kepenatan yang dirasakan sebelumnya sirna terbawa hembusan angin kencang yang menerpa diri. Dari ketinggian 12.420 kaki atau 3.726 meter di atas permukaan laut, di puncak Gunung Rinjani itu, mereka menghirup udara hangat bermandikan sinar matahari yang baru saja terbit.
"Yuuuhuuuu..." teriak Ari puas, seraya merentangkan kedua tangannya. Angin menerbangkan ujung slayer tutup kepalanya, juga jaket gunungnya.
Guruh duduk lega di atas sebuah batu yang dikelilingi rumput. Dia tidak behenti memandangi sunrise di ufuk Rinjani. Sinar Kemerahan membaur orange dan mengabur kuning, hingga membuat warna biru cerah langit yang luas menjadi sangat indah.
Danau Segara Anak dengan bias biru dan hijau menyilaukan terlihat sangat cantik seolah Dewi Anjani yang dipercaya masyarakat setempat sebagai penguasa Gunung Rinjani ini. Burung-burung berterbangan, beriringan menyatu dengan simfoni alam yang megah.Gunung Agung di Bali, Gunung Ijen-Merapi di Banyuwangi, dan Gunung Tambora di Sumbawa tampah di kejauhan, menambah keagungan panorama alam.
Beberapa pendaki yang telah tiba lebih dahulu pun mengheningkan diri untuk menikmati dan mengagumi keindahan alam yang luar biasa. Mungkin bukan hanya ingin menikmati dan mengagumi keindahan alam ciptaan Tuhan ini yang membuat mereka bersusah payah mencapai puncak. Ada sesuatu yang lebih penting daripada semua itu. Yaitu, perasaan di mana batasan fisik saat mendaki sudah lemah dan di ambang keputusasaan, maka ada semacam kekuatan mental untuk bertahan dan berjuang, hingga para pendaki akan merasa tetap "ada" saat kekuatan mental tersebut terlewati. Seperti kata-kata Sir Edmund Hillary, pendaki gunung pertama Gunung Everest :"...because it is exist..."
Ari sedang sibuk memotret beberapa pemandangan dengan kamera digitalnya. Guruh masih duduk termenung, melihat jauh ke depan. Dia mengeluarkan selembar foto kecilnya. Di foto itu terlihat Guruh dan Ari lengkap dengan pakaian gunung serta slayer ikat kepala. Di tengah mereka berdua ada seorang gadis kecil nan cantik. Mereka berdua tertawa lepas dengan latar belakang Danau Segara Anak yang menyembul dari balik pucuk-pucuk pohon cemara. Guruh sejenak terhanyut dalam kenangan. Sesaat kemudian meletakan foto itu di atas batu kecil dan rumput liar, dalam posisi berdiri menghadap ke arah matahari terbit.
Danau Segara Anak dengan bias biru dan hijau menyilaukan terlihat sangat cantik seolah Dewi Anjani yang dipercaya masyarakat setempat sebagai penguasa Gunung Rinjani ini. Burung-burung berterbangan, beriringan menyatu dengan simfoni alam yang megah.Gunung Agung di Bali, Gunung Ijen-Merapi di Banyuwangi, dan Gunung Tambora di Sumbawa tampah di kejauhan, menambah keagungan panorama alam.
Beberapa pendaki yang telah tiba lebih dahulu pun mengheningkan diri untuk menikmati dan mengagumi keindahan alam yang luar biasa. Mungkin bukan hanya ingin menikmati dan mengagumi keindahan alam ciptaan Tuhan ini yang membuat mereka bersusah payah mencapai puncak. Ada sesuatu yang lebih penting daripada semua itu. Yaitu, perasaan di mana batasan fisik saat mendaki sudah lemah dan di ambang keputusasaan, maka ada semacam kekuatan mental untuk bertahan dan berjuang, hingga para pendaki akan merasa tetap "ada" saat kekuatan mental tersebut terlewati. Seperti kata-kata Sir Edmund Hillary, pendaki gunung pertama Gunung Everest :"...because it is exist..."
Ari sedang sibuk memotret beberapa pemandangan dengan kamera digitalnya. Guruh masih duduk termenung, melihat jauh ke depan. Dia mengeluarkan selembar foto kecilnya. Di foto itu terlihat Guruh dan Ari lengkap dengan pakaian gunung serta slayer ikat kepala. Di tengah mereka berdua ada seorang gadis kecil nan cantik. Mereka berdua tertawa lepas dengan latar belakang Danau Segara Anak yang menyembul dari balik pucuk-pucuk pohon cemara. Guruh sejenak terhanyut dalam kenangan. Sesaat kemudian meletakan foto itu di atas batu kecil dan rumput liar, dalam posisi berdiri menghadap ke arah matahari terbit.
"Rin... Gue dan Ari berhasil! Kita melakukan ini buat lo. Semoga lo bisa tenang dan bahagia di sana," ucap Guruh pelan dengan sedih.Desiran angin semakin kencang. Rerumputan tertiup hingga goyah dari pangkalnya. Udara dingin dibawah 15 derajat celcius menghantarkan kenangan jauh sebelum Guruh, Ari dan Ririn masih bersama-sama.
"Aku akan buktikan kalo aku ada artinya buat hidupku dan orangtuaku, dan jalan yang kupilih cuma ini..."
Hubungan Guruh dengan Ririn selama ini hanya sebagai sahabat, namun diam-diam sebenarnya Guruh naksir Ririn
Guruh lumayan nakal. Tapi, dia sosok yang pendiam. Sementara Ari justru tidak bisa diam dan ceplas-ceplos, kalau Ririn? oh, dia cewek yang sangat cuek. Meskipun sebetulnya dia sangat manis. Ririn jika dibandingkan dengan gadis lain memang berbeda. Dia itu lebih meyukai tantangan. Waktu kecil saja, ketika teman-teman cewek sebayanya seneng main boneka, Ririn lebih memilih pergi ke bukit dan memanjat pohon-pohon yang tinggi. Atau, ikut berrmain dengan teman-teman cowok, salah satunya Guruh.
Mereka sudah kenal sejak SD, sering main jauh berdua hanya untuk memuaskan rasa penasaran akan tempat-tempat yang belum mereka tahu. Tidak heran kalau mereka sering kena omel orang tua masing-masing, apalagi sejak kenal Ari pas SMP. Hobi mereka melanglang ke berbagai tempat seolah tak terbendung. Baru setelah masuk SMA hobi itu tersalurkan lantaran adanya ekskul GPA(Grup Pecinta Alam). Mereka bertiga kerap berkumpul di sekertariat ketika jam istirahat, juga setelah pulang sekolah. Yang diobrolkan tidak lain tidak bukan adalah rencana pendakian ke mana-mana.
Ketika kelas dua, kebetulan Guruh, Ari dan Ririn bisa sekelas lagi di kelas IPA. Ayah Ririn mulai tidak setuju kalau anak perempuan satu-satunya itu terus menerus ikut kegiatan pecinta alam.
"Buat apa kamu ikut kegiatan laki-laki? Kamu itu perempuan!! Malu ayah dan ibu tau! Lagian ngapain juga naik gunung cuma untuk turun lagi? Ngerti kamu, Ririn?!"
Ibu Ririn tidak bisa berbuat apa-apa. Dia hanya bisa menunduk sedih. Ririn tidak berani melawan. Dia hanya bisa menerima untuk sementara apa yang dikatakan ayahnya. Tapi setelah itu, hatinya berontak. Alasan yang terlalu dangkal bila karena rasa malu akan pandangan orang lain. Ririn pun akhirnya memilih menghindar setiap kali ayahnya mulai marah-marah. Di saat seperti ini, Guruh lah yang sering menghibur Ririn. Dia sering mengajak Ririn ke bukit kecil dekat sekolah tempat bermain mereka sejak kecil.
Hubungan Guruh dengan Ririn selama ini hanya sebagai sahabat. Namun, diam-diam sebenarnya Guruh naksir Ririn. Sayang, dia terlalu takut mengutarakan isi hatinya. Sebaliknya, Ririn pun terlalu cuek dengan perhatian yang diberikan oleh Guruh. Atau, mungkin Ririn menunggu Guruh yang memendam perasaannya? Ari lah yang sering berusaha menyatukan perasaan Guruh dan Ririn. Tapi, usahanya tak pernah berhasil.
Gunung Rinjani berlokasi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, adalah gunung berapi yang ketinggian puncaknya hanya terkalahkan oelh pegunungan Jayawijaya di tanah Papua, dan Gunung Kerinci yang berasal di tanah Sumatra. Di tengah gunung tersebut terdapat danau kawah yang terbentuk secara vulkanik akibat letusan gunung. Danau yang sangat indah, dengan warna air membiru bagai anak lautan. Karena itu disebut Danau Segara Anak (*Segara = Laut).
Hujan rintik-rintik masih membasahi dedaunan. Pos pendakian Sembalun Lawang memberikan informasi kepada para pendaki agar mengurungkan niatnya untuk mendaki ke puncak Rinjani, lantaran keadaan cuaca yang sangat buruk berbahaya bagi keselamatan pendaki. Hujan yang deras, badai yang kencang, dan tanah yang longsor bisa berakibat fatal.
Banyak pendaki yang kecewa dengan keputusan itu. Tapi, ada pula pendaki yang tetap nekat. Termasuk Ririn tak mengindahkan anjura tersebut. Dia bersikeras melanjutkan perjalanan, meski Guruh dan Ari mencegah.
Keadaan cuaca sangat cepat berubah. Saat ini kondisi panas menyengat. Radiasi matahari membakar kulit, menyertai perjalanan Guruh, Ari dan Ririn. Padang savana dengan hamparan ilalang dan tanah tandus berbedu membuat stamina cepat terkuras. Tanjakan terjal dengan jurang menganga mulai terlihat di antara rimba hutan heterogen. Suara burung, monyet, dan ayam hutan sesekali terdengar.
Setelah delapan jam Perjalanan, sampailah mereka di Pelawangan Sembalun Lawang, di ketinggian 9.000 kaki atau 2.700 meter di atas permukaan laut, yang merupakan pos pendakian terakhir menuju puncak Rinjani. Ririn begitu bahagia. Di tengah kelelahannya, dia menatap takjub rimbun pohon cemara dengan latar Danau Segara Anak. Dia berlari-lari dan berteriak-teriak layaknya anak kecil.
"Ruh, gue tau lo ada perasaan sama Ririn. Cuma, lo nggak bisa diem terus begini. Gue yakin Ririn sebetulnya juga lagi nunggu cinta lo."
Guruh terlalu sibuk membuat simpul tali di antara carabiner (*cincin kait), daripada menyimak omongan Ari. Dia berusaha menyembunyikan perasaannya. Selain Ari , Ririn pun sering memancing Guruh agar mau mengungkapkan perasaannya.
"Ruh, teman-teman suka nyangka kita pacaran lho!" Ririn berharap dengan senyum manisnya.Namun, Guruh lebih memilih sibuk dengan buku Fisikanya dan tetap diam sambil terus menulis. Ririn yang merasa tidak dianggap pergi dengan kesal. Dia berlari keluar, lalu membanting pintu sekertariat dengan keras. Guruh hanya menengok aneh melihat kelakuan Ririn.
"Kenapa dia Ar?" tanya Guruh."Busyeet!!! Guruh... Guruh... Lo tuh emang orang paling dingin sedunia ya?! udah tau dikasi lampu ijo, eh malah nggak ngehargain dia!"
Di tengah guyuran hujan akhir tahun. Bertempat di sekertariat, sedang dijelaskan beberapa gunung yang sering dijadikan tujuan pendaki. Ririn dengan antusiasnya tertarik pada salah satu gunung yang diceritakan : Gunung Rinjani. Pasalnya, Gunung Rinjani konon merupakan gunung favorit para pendaki maupun luar negeri.
Gunung Rinjani berlokasi di Lombok, Nusa Tenggara Barat, adalah gunung berapi yang ketinggian puncaknya hanya terkalahkan oelh pegunungan Jayawijaya di tanah Papua, dan Gunung Kerinci yang berasal di tanah Sumatra. Di tengah gunung tersebut terdapat danau kawah yang terbentuk secara vulkanik akibat letusan gunung. Danau yang sangat indah, dengan warna air membiru bagai anak lautan. Karena itu disebut Danau Segara Anak (*Segara = Laut).
"Aku harus kesana," batin Ririn.
Guruh dan Ari pun bepandangan dengan perasaan yang sama dengan Ririn. Dan, hampir setiap saat Ririn mengungkapkan keinginannya untuk mendaki Gunung Rinjani. Awal tahun, Ririn di kamarnya sedang membereskan peralatan mendakinya dengan tergesa-gesa. Dari matanya keluar air mata disertai isakan. Sementara di luar kamar, ayahnya yang keras masih marah-marah karena Ririn belum juga mau berhenti dari kegiatan mendakinya. Rasa berontak Ririn sudah di luar bata. Saat itu juga ia lari dari rumah tanpa tujuan. Lalu, berdiam diri disaung bambu di atas bukit. Hujan yang mengguyur. Tak lama kemudian datang Guruh.
Lama mereka berdiam sambil melihat rintik hujan yang semakin keras."Ruh, aku... Hiks..hiks..hiks.." Ririn menangis dipelukan Guruh."Udah Rin. Gue bakal selalu nemenin lo."
Guruh hanya melihat sorot mata Ririn yang mengisyaratkan tekad yang kuat."Aku mau berangkat ke Rinjani, Ruh.""Bener???""Heem" angguk Ririn pasti."Nggak bisa , Rin. Kalo cuaca buruk begini lo nggak bisa maksain diri.""Nggak! Aku harus... Aku aka buktiin kalo aku ada artinya bagi hidupku dan orang tuaku. Dan, jalan yang aku pilih cuma ini..." Ucap Ririn sambil menatap ke depan dengan penuh harap.
"Kalo kamu nggak mau nemenin, aku tetap akan berangkat sendiri."
Guruh terpaksa mengangguk dengan berat.
Curah hujan masih sangat tinggi. Ombak lautan menggulung besar dan mengombang-ambingkan feri. Desakan air laut menampar keras lambung feri. Ririn dengan wajah pucat berpegangan pada besi kursi, menahan keseimbangannya sambil terus tersenyum ke arah Guruh dan Ari.
Perjalanan mereka sekarang menuju Lombok, melalui Selat Lombok. Sampai di gerbang pelabuhan laut Lembar, perjalanan dilanjutkan menuju terminal bus di kota Mataram. Dari sini mereka memakai jasa kendaraan elf. Dengan waktu tempuh kira-kira satu jam, diharapkan dapat tiba di kawasan Aikmel. Kemudian disambung lagi dengan kendaraan elf yang lain menuju pos pendakian Sembalun Lawang. Untunglah rasa lelah masih bisa dibayar dengan melihat keteduhan jajaran pohon tropis selama perjalanan. Belum lagi atraksi monyet liar serta pemandangan ngarai hijau yang dihuni suku Sasak tradisional, suku asli Pulau Lombok.Hujan rintik-rintik masih membasahi dedaunan. Pos pendakian Sembalun Lawang memberikan informasi kepada para pendaki agar mengurungkan niatnya untuk mendaki ke puncak Rinjani, lantaran keadaan cuaca yang sangat buruk berbahaya bagi keselamatan pendaki. Hujan yang deras, badai yang kencang, dan tanah yang longsor bisa berakibat fatal.
Banyak pendaki yang kecewa dengan keputusan itu. Tapi, ada pula pendaki yang tetap nekat. Termasuk Ririn tak mengindahkan anjura tersebut. Dia bersikeras melanjutkan perjalanan, meski Guruh dan Ari mencegah.
Keadaan cuaca sangat cepat berubah. Saat ini kondisi panas menyengat. Radiasi matahari membakar kulit, menyertai perjalanan Guruh, Ari dan Ririn. Padang savana dengan hamparan ilalang dan tanah tandus berbedu membuat stamina cepat terkuras. Tanjakan terjal dengan jurang menganga mulai terlihat di antara rimba hutan heterogen. Suara burung, monyet, dan ayam hutan sesekali terdengar.
Setelah delapan jam Perjalanan, sampailah mereka di Pelawangan Sembalun Lawang, di ketinggian 9.000 kaki atau 2.700 meter di atas permukaan laut, yang merupakan pos pendakian terakhir menuju puncak Rinjani. Ririn begitu bahagia. Di tengah kelelahannya, dia menatap takjub rimbun pohon cemara dengan latar Danau Segara Anak. Dia berlari-lari dan berteriak-teriak layaknya anak kecil.
"Guruh..., Guruuuh... Aku pasti akan mencapai puncak besok pagi!"Ari juga tidak ketinggalan berteriak kegirangan. Guruh hanya menatap ke arah mereka berdua dengan bahagia. Baru kali ini Guruh melihat tawa lepas hadir di wajah Ririn. Sore itu mereka berfoto-foto sambil mengagumi indahnya sunset di ufuk barat.
"Makasih 'Ruh,"
"Iya."
Ririn tersenyum. Sinar kemerahan menerpa wajahnya. Ingin rasanya Guruh melihat senyum itu untuk selamanya. Cuaca kembali memburuk. Hujan mulai turun. Mereka lalu mendirikan tenda untuk berkemah. Hanya terlihat sedikit tenda yang berdiri di samping tenda mereka. Beberapa pendaki lain mulai sibuk menghangatkan badan karena suhu dingin mulai menusuk. Angin kencang di tengah hujan deras seakan ingin merobek dan menerbangkan tenda-tenda para pendaki. Gelap malam perlahan turun. Ketika tengah malam hujan pun mereda. Ari sudah tidur, Ririn terlihat merenung gelisah di atas sleeping bag-nya, dengan penerangan kecil dari lamp camp.
"Rin, lo harus istirahat dulu. Besok Subuh kan kita akan jalan lagi," Ucap Guruh, mengusik lamunan Ririn.
"Mmmm, Iya."
Ririn menutup tubuhnya dengan kehangatan busa sleeping bag. Lalu mencoba untuk tidur. Tapi, matanya tetap terbuka. Memancarkan sinar kegelisahan, di tengah angin kencang yang berhembus masuk melalui celah-celah kain tenda.
Pukul tiga dini hari. Guruh dan Ari sedang merapihkan perlengkapan.
Pukul tiga dini hari. Guruh dan Ari sedang merapihkan perlengkapan.
"Ruh, lo tau kalo persediaan makanan kita cukup untuk sekali jalan ini?""Iya, tapi Ar... apapun yang terjadi, kita tetap prioritaskan buat Ririn." Kata Guruh.
Ririn sudah berdiri di lereng. Sementara para pendaki lain memutuskan mengurungkan niatnya melanjutkan perjalanan dan menunggu hingga cuaca lebih baik.
Tiga ransel besar di punggung masing-masing plus jaket gunung pengusir dingin mengiringi kepergian mereka menuju puncak. Hujan rintik-rintik masih terasa. Satu jam perjalanan dilalui dengan susah payah karena medan yang makin berat akibat kondisi tanah yang rapuh dan gampang longsor. Lalu, cuaca kembali memburuk tiba-tiba. Hujan deras mengguyur, angin kencang menyapu pepohonan dengan sangat kuat. Guruh, Ari dan Ririn terpaksa berlindung sementara badai di antara celah bebatuan. Kulit terasa perih, pandangan pun kabur.
Walau terlindung batu curam, tapi mereka tetap terkena air hujan. Rasa dingin semakin lama semakin menjadi, membuat badan terasa kaku. Radio komunikasi tidak bisa lagi berfungsi. Mereka hanya bisa pasrah menunggu waktu untuk melewati keadaan tersebut.
Hampir tiga jam, belum ada juga tanda-tanda cuaca akan membaik. Guruh mencoba memberikan makanan yang tersisa kepada Ririn dan Ari untuk mengusir rasa dingin. Wajah pucat Ririn membaik setelah makan. Tak lama cuaca berubah lebih buruk lagi, kabut dingin mulai datang, suhu turun drastis hingga di bawah sepuluh derajat Celcius. Mereka semakin terjebak, persediaan makanan sudah habis. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan rasa dingin yang kian menyakitkan dan bisa merenggut nyawa.
Sore itu Guruh, Ari dan Ririn masih mencoba untuk bertahan dari kabut dingin yang belum beranjak, meski hujan sudah mulai mereda. Kulit putih pucat membiru terlihat di masing-masing wajah mereka. Ari menyelipkan badannya di antara dua batuan. Sedangkan Guruh memeluk Ririn yang menggigil kedinginan dengan kondisi yang semakin lemah.
Tiga ransel besar di punggung masing-masing plus jaket gunung pengusir dingin mengiringi kepergian mereka menuju puncak. Hujan rintik-rintik masih terasa. Satu jam perjalanan dilalui dengan susah payah karena medan yang makin berat akibat kondisi tanah yang rapuh dan gampang longsor. Lalu, cuaca kembali memburuk tiba-tiba. Hujan deras mengguyur, angin kencang menyapu pepohonan dengan sangat kuat. Guruh, Ari dan Ririn terpaksa berlindung sementara badai di antara celah bebatuan. Kulit terasa perih, pandangan pun kabur.
Walau terlindung batu curam, tapi mereka tetap terkena air hujan. Rasa dingin semakin lama semakin menjadi, membuat badan terasa kaku. Radio komunikasi tidak bisa lagi berfungsi. Mereka hanya bisa pasrah menunggu waktu untuk melewati keadaan tersebut.
Hampir tiga jam, belum ada juga tanda-tanda cuaca akan membaik. Guruh mencoba memberikan makanan yang tersisa kepada Ririn dan Ari untuk mengusir rasa dingin. Wajah pucat Ririn membaik setelah makan. Tak lama cuaca berubah lebih buruk lagi, kabut dingin mulai datang, suhu turun drastis hingga di bawah sepuluh derajat Celcius. Mereka semakin terjebak, persediaan makanan sudah habis. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa untuk melawan rasa dingin yang kian menyakitkan dan bisa merenggut nyawa.
Sore itu Guruh, Ari dan Ririn masih mencoba untuk bertahan dari kabut dingin yang belum beranjak, meski hujan sudah mulai mereda. Kulit putih pucat membiru terlihat di masing-masing wajah mereka. Ari menyelipkan badannya di antara dua batuan. Sedangkan Guruh memeluk Ririn yang menggigil kedinginan dengan kondisi yang semakin lemah.
"Ru.., Ru.., 'Ruh... Ak.., akkku... nggak.. ku.., aattt..,," bisik Ririn terbata."Lo harus kuat, 'Rin! Harus!!"Ruh... Kam.., mmmu... Say..., say..., ang.. Ak.., akk...,uuu?""Iya, Rin. Gue sayang sama lo. tapi lo harus janji untuk bertahan ya?""Aku... Ju..., jju..., ga.., say..., ang... Kam.., uuu..."
Bibir merah kebiruan Ririn tersenyum. Itu menjadi senyumnya yag terakhir. Pegangan tangannya melemah. Mata sayu Ririn mulai menutup pelan untuk selama-lamanya. Guruh hanya bisa memeluk lebih erat dengan air mata bekunya. Ari yang disampingnya hanya melihat dengan lemah, tanpa bisa berbuat apa-apa. Kabut dingin mulai mengabur dengan meninggalkan duka yang dalam. Membekas perih, menjadi kenangan yang tak terobati.
Gontai bunga edelweiss bergerak lembut mengikuti semilir angin di puncak Rinjani. Langit cerah semakin hangat dengan matahari yang tak malu-malu lagi beranjak naik. Kenangan Guruh dan Ari tentang Ririn tidak akan pernah terlupakan. Ririn yang manis, cuek, keras kepala namun berpendirian kuat, mengajarkan kepada mereka berdua untuk pantang menyerah meraih setiap tujuan yang hendak dicapai. Guruh menatap awan putih seputih salju yang seakan membentuk wajah Ririn yang sedang tersenyum bahagia.
Gontai bunga edelweiss bergerak lembut mengikuti semilir angin di puncak Rinjani. Langit cerah semakin hangat dengan matahari yang tak malu-malu lagi beranjak naik. Kenangan Guruh dan Ari tentang Ririn tidak akan pernah terlupakan. Ririn yang manis, cuek, keras kepala namun berpendirian kuat, mengajarkan kepada mereka berdua untuk pantang menyerah meraih setiap tujuan yang hendak dicapai. Guruh menatap awan putih seputih salju yang seakan membentuk wajah Ririn yang sedang tersenyum bahagia.
👍
BalasHapus